Oleh: Harun Kurnia
Sudah tiga bulan lamanya, kini yang terlihat dari tempat jajan musik Aquarius Mahakam itu hanyalah lusuh, walau label huruf Aquarius masih tetap tegar tersandar di dindingnya. Sebenanya kawasan ini cukup ramai dengan orang hilir mudik, dari teriknya sengatan sang matahari sampai dengan dipayungi teduhnya sinar bulan dimalam hari.
Sudah tiga bulan lamanya, kini yang terlihat dari tempat jajan musik Aquarius Mahakam itu hanyalah lusuh, walau label huruf Aquarius masih tetap tegar tersandar di dindingnya. Sebenanya kawasan ini cukup ramai dengan orang hilir mudik, dari teriknya sengatan sang matahari sampai dengan dipayungi teduhnya sinar bulan dimalam hari.
Namun apa daya, Store
yang terletak di Jalan Mahakam Jakarta Selatan ini secara seremonial ditutup
pada penghujung tahun 2013. Sebenarnya, sinyal ini sudah terlihat dari tutupnya store Aquarius di Surabaya dan juga Bandung, serta Pondok Indah. Store yang telah menemani para
pelanggannya selama 26 tahun bisa
dibilang salah satu tempat ‘jajan’ musik favorit dan menjadi kehilangan
tersendiri bagi mereka yang mempunyai kenangan.
Rasa
kehilangan ini juga menyelimuti, Wendi Putranto, “Sangat sedih karena Aquarius Mahakam ini sudah buka selama lebih dari 26
tahun di Jakarta dan sudah banyak memberikan hiburan dan edukasi musik yang
baik bagi beberapa generasi anak muda di Ibu Kota. Jasa-jasanya cukup besar,”
ungkapnya.
Wendi
juga mengungkapkan sedikit mengapa Aquarius Mahakam ditutup, “Dari hasil wawancara saya dengan store manager Aquarius Mahakam setidaknya
ada beberapa penyebab mereka tutup, di antaranya karena perkembangan teknologi,
berubahnya pola konsumsi musik masyarakat dari format fisik ke digital sampai
kompetisi dengan jenis hiburan lainnya, jaman dulu menurut dia orang kalo
pengen rileks itu membeli CD/kaset ke Aquarius. Sekarang tidak lagi, layar
televisi jauh lebih menarik,” ujar pria yang pernah menangani band The
Upstairs.
Walau
tidak menimbulkan kiamat bagi musik industri Indonesia, namun bagi Wendi Aquarius Mahakam merupakan simbol bagaiamana sehatnya industri musik Indonesia.“Bisa dibilang Aquarius Mahakam itu adalah simbol sehatnya industri musik,
kalo ternyata semaput juga artinya industri musik Indonesia sudah tidak sehat
lagi.,”. Ungkap Editor Rolling Stone
tersebut.
Jangan Menunggu Datangnya Bola
Perkembangan
era digital yang tidak bisa dikontrol lagi lajunya dewasa ini, membuat
para ‘perompak’ musik ilegal semakin jaya dan juga semakin punya banyak cara
dalam menggandakan karya-karya para seniman ataupun musisi. Ditambah lagi dengan berkembangnya era digital
ini, entah mengapa sekarang ini hanya segelintir orang yang masih mau menjamah
bentuk konvensional dibandingkan kemudahan dan kemuktahiran barang digital.
Namun,
kecanggihan era digital tidak dapat dijadikan kambing hitam atas tutupnya store-store tersebut. Para pemilik
tempat jajan lah yang harus dapat mengatasi dan beradaptasi dengan kebutuhan
pasar, dan juga dapat melihat segala seting yang ada, agar tetap bertahan
menjalan roda perusahaannya.
Wendi
pun memberikan usulannya agar hal ini tidak menimpa retail-retail musik di
Indonesia lainnya harus ada hal baru
yang dapat ditawarkan kepada para konsumen, “Kalo boleh
usul mungkin bisa bikin program yang lebih engage
dengan para pelanggan mereka, entah dari menyediakan koleksi musik sesuai
demand, memberikan potongan harga, membuat meet
& greet dengan artis. Jangan hanya menunggu datangnya bola, tapi coba
rebut hati mereka untuk berbelanja rekaman lagi,” ujarnya.
Namun
hal ini tidak akan berjalan tanpa adanya dukungan dan support dari semua pihak
dari, seperti apa yang di ugnkapkan oleh David Karto, “Ya semua nya kembali ke dalam strategi dan pastinya
butuh dukungan/support dari smua pihak,” ungkap pria yang merupakan salah satu pemilik dari retail musik Demajors.
0 comments:
Post a Comment